SEJARAH BUSANA MUSLIM
”PêΝgértiÅn BusÃnÅ ätåu PÄkÀiÅΝ”
Busana
menurut bahasa adalah segala sesuatu yang menempel pada tubuh dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Menurut istilah, busana adalah pakaian yang
kita kenakan setiap hari dari ujung rambut sampai ujung kaki berserta
segala pelengkapannya, seperti tas, sepatu, dan segala macam
perhiasan/aksesoris yang melekat padanya. Al-Quran paling tidak
menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu, libas, tsiyab, dan
sarabil. Kata libas ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyab ditemukan
sebanyak delapan kali, sedangkan sarabil ditemukan sebanyak tiga kali
dalam dua ayat. Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk menunjukkan
pakaian lahir maupun batin, sedangkan kata tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata tsaub yang
berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada
keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.
Fungsi Busana/Pakaian
Awal
perkembangannya, busana atau pakaian dipakai sebagai pelindung tubuh
dari sengatan matahari dan rasa dingin. Pada akhirnya tidak hanya kedua
fungsi tersebut yang menjadi tujuan utama berbusana, tetapi busana
menjadi bagian penting dari hidup manusia karena mengadung unsur etika
dan estetika dalam masyarakat. Dengan berbusana yang harmonis dan serasi
akan menambah baik penampilan diri kita. Terkadang seseorang bisa
dinilai dari cara berbusananya. Bagi kita muslimah berbusana tidak
sekedar menutup tubuh, tetapi merupakan identitas bagi diri kita sebagai
muslimah. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan
isteri-isteri orang-orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal dan oleh kerananya mereka tidak diganggu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (Al-Ahzab: 59).
Esensi yang
lain lagi yaitu seberapa jauh kesyukuran kita kepada Allah atas nikmat
yang telah diberikan-Nya kepada kita. Rasa syukur kita kepada Allah kita
tuangkan salah satunya dengan cara mengetahui dengan jelas apa saja
syarat-syarat busana yang layak menurut syariah dipakai oleh seorang
muslimah.
Syarat Busana Muslim(ah)
Busana muslim,
begitu sering disebut saat ini. Oleh sebagian perancang busana
Indonesia disebut sebagai busana seni kontemporer. Dalam kolom
konsultasi syari’ah online, ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi
dalam berbusana. Syarat-syarat tersebut adalah: menutupi seluruh tubuh
selain yang dikecualikan, tidak tembus pandang, tidak ketat sehingga
membentuk lekuk tubuh, tidak menyerupai pakaian laki-laki dan tidak
menyerupai pakaian ‘khas’ milik orang kafir atau pakaian orang fasik.
Berikut penjelasannya yang dikutip dari buku Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah fil Kitabi wa Sunnah (Syaikh Al Albany), beberapa syarat yang
wajib dipenuhi agar dapat berbusana harmonis dan tentunya syar’i.
1. Menutupi seluruh tubuh selain yang dikecualikan Syarat.
Ini terdapat
dalam surat An Nuur ayat 31 Allah berfirman: “Katakanlah kepada wanita
yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara
kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka
kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan
mereka.’”
Juga firman
Allah dalam surat Al-Ahzab:59 yang berbunyi: “Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin:
‘Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’” Ayat
ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban
setiap wanita muslimah (mukminah) dan merupakan tanda keimanan mereka.
Menutup aurat adalah salah satu dari kewajiban yang telah ditetapkan
bagi muslimah, sedangkan menuntut ilmu adalah kewajiban lain yang
berlaku untuk seumur hidup.
Al-Qurthubi
berkata: “Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang
menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari
Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai
pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya:
“Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa
haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.’
Kemudian beliau menunjuk wajah dan (telapak) tangannya. Allah Pemberi
Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan.
Ini
berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 yang berbunyi: “Dan
janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.” Secara umum
kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan
sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya.
Hal ini
dikuatkan firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33: “Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyah.” Berhias diri seperti orang-orang jahiliyah
disini artinya bertabarruj. Tabarruj adalah perilaku wanita yang
menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib
ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan
VII/19).
3. Tidak tembus pandang.
Dalam sebuah
hadits Rasulullah telah bersabda: “Pada akhir umatku nanti akan ada
wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas
kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka
karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” Di dalam
hadits lain terdapat tambahan: “Mereka tidak akan masuk surga dan juga
tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari
perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dari riwayat Abu Hurairah).
Atsar di atas
menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan
menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Oleh karena itu Aisyah
pernah berkata: “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan
kulit dan rambut.” Saat ini banyak diproduksi bahan-bahan lenan yang
tipis dan berbahan lembut. Dengan sentuhan teknologi jahit menjahit
mungkin bisa disiasati dengan menambahkan lapisan (yang agak
tebal/senada) didalam bahan baju ketika menjahitnya atau memakainya,
sehingga kita tetap bisa mengenakan busana yang kita inginkan.
4. Tidak ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuh.
Usamah bin Zaid
pernah berkata: Rasulullah pernah memberiku baju Quthbiyah yang tebal
yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau.
Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku:
“Mengapa kamu tidak mengenakan baju Quthbiyah?” Aku menjawab: “Aku
pakaikan baju itu pada istriku.” Nabi lalu bersabda: “Perintahkan ia
agar mengenakan baju dalam di balik Quthbiyah itu, karena saya khawatir
baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (HR. Ahmad dan
Al-Baihaqi dengan sanad Hasan).
Aisyah pernah
berkata: “Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian:
baju, jilbab dan khimar.” Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya
(pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah berkata: “Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.”
Dari Abdullah
bin Amru yang berkata: “Saya mendengar Rasulullah bersabda: ‘Tidak
termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum
pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.’”
Dari Abdullah
bin Umar yang berkata: “Rasulullah bersabda: ‘Tiga golongan yang tidak
akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat;
Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah
kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang
yang tidak memiliki rasa cemburu).’”
Dalam
hadits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya
tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Tidak
menyerupai pakaian pria disini, misalnya seorang muslimah memakai celana
panjang yang layaknya dipakai oleh seorang laki-laki, memakai kemeja
laki-laki dll. Sehingga secara psikologis terpengaruh pada pribadi
pemakainya, misalnya merasa sekuat pria, merasa tomboy dll.
6. Tidak menyerupai pakaian ‘khas’ orang kafir atau orang fasik.
Syariat Islam
telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak
boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam
ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakaian khas mereka. Dalilnya
adalah firman Allah surat Al-Hadid:16, yang berbunyi: “Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah
diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang
atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara
mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Iqtidha hal. 43: Firman Allah “Janganlah
mereka seperti…” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai
mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai
mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan. Ibnu Katsir ketika
menafsirkan ayat ini (IV/310) berkata: “Karena itu Allah melarang
orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun
cabang. Allah berfirman dalam surat Al-Mujadalah:22 bahwa tidak ada
seorang mumin yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang
mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mumin, sedangkan
tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai
sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.
7. Memakai busana bukan untuk mencari popularitas.
Berdasarkan
hadits Ibnu Umar yang berkata: “Rasulullah bersabda: ‘Barangsiapa
mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan
pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan
api neraka.’” (Abu Daud II/172; Ibnu Majah II/278-279).
Libas Syuhrah
adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih
popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal,
yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan
perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh
seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya.
Ibnul Atsir
berkata: “Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari Libas Syuhrah
adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat
pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan
sikap angkuh dan sombong.”
Demikianlah
syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang muslimah dalam menentukan
busana yang akan dikenakannya. Semakin kita mengetahui dengan jelas
syarat-syarat berbusana muslimah, kita akan lebih dapat berkreasi dengan
busana kita. Berbusana muslimah yang harmonis merupakan salah satu
tanda ke syukuran kita kepada Allah . Tunggu apalagi?